Rabu, 02 Maret 2011

TASAWUF ABAD III DAN IV HIJRIYAH


 TASAWUF ABAD III DAN IV HIJRIYAH

  1. Kajian Tasawuf Pada Abad III dan IV Hijriah
Dari cara hidup zuhud pada abad I dan II Hijriah, maka dimulailah kajian-kajian kesufian pada abad III dan IV hijriah. dalam kajian tersebut terdapat dua kecenderungan para tokoh. Pertama, cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak yang didasarkan pada Al-Qur’an dan sunah. kedua, cenderung pada kajian tasawuf filsafat dan banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisika.
Menurut al-Taftazani, pada masa itu mereka telah membahas moral, tingkah laku dan peningkatannya. Pengenalan intuitif langsung kepada Allah, kefanaan dan realitas mutlak Allah, serta mutlak pencapaian ketentraman kalbu ataupun kebahagiaan. Prof. Dr. H Aboebakar Atjeh menggambarkan pada abad ke III orang membicarakan latihan rohani, yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya.
Pada abad III dan IV itu tasawuf telah mencapai kesempurnaannya. Para sufi pada periode itu, mewakili masa keemasan tasawuf dalam peringkatnya yang tertinggi dan terbersih. Tidak diragukan lagi, mereka menjadi tokoh-tokoh bagi sufi kemudian.
Salah satu yang menandai kemapanan tasawuf pada abad III dan IV ini ialah munculnya tarekat-tarekat sufi dalam bentuknya yang paling awal. Tarekat yang muncul pada masa ini ialah Tarekat Tayfuriah yang dinisbahkan kepada Abu Yazid Al-Bustami, Tarekat al-Hallajiah yang dinisbahkan kepada Mansur al-Hallaj dan lain-lainnya.
Untuk karya-karya sufistik pada periode ini yang buku-bukunya masih dapat ditemukan dewasa ini. (1) Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi (w. 378 H). ia seorang penulis kitab besar dan fundamentalis dalam tasawuf berjudul Kitab al-Luma’. (2) Abu Thalib al-Makki (w.386 H) membuktikan pula keabsahan doktrin dan praktek sufi di dalam karyanya, Qut Al-Qutub, (3) Abu Bakar al-Kalabazi, penulis buku kecil al-Ta’aruf li Mazhub ahl at-Tasawuuf.
  1. Tokoh-Tokoh Sufi Terkemuka Abad III dan IV Hijriah
    1. Ma’ruf al-Karkhi
Namanya adalah Abu Muahfuz Ma’ruf bin Firuz al-Karkhi. Ia berasal dari Persia, namun hidupnya lebih lama di Bagdad. Ia meninggal di kota ini juga pada tahun 200 H / 815 M.
Ma’ruf al-Karkhi dikenal sebagai sufi yang selalu diliputi rasa rindu kepada Allah sehingga ia digolongkan ke dalam kelompok auliya’. Dia dipandang sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar tasawuf. Dan dia adalah orang pertama yang mengembangkan tasawufnya dari paham cinta (al-hubb) yang dibawa oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Ia mengatakan bahwa timbulnya rasa cinta kepada Allah itu bukan karena diusahakan melalui belajar, tetapi datangnya semata-mata karena karunia Allah. Kalau dahulu hidup kerohanian, terutama bertujuan untuk membebaskan diri dari siksa akhirat, sekarang bagi Ma’ruf al-Karkhi, bertujuan sebagai sarana untuk memperoleh ma’rifah kepada Allah.
Al-Taftazani mengatakan, barangkali yang mula-mula mempemasalahkan ma’rifah ialah Ma’ruf al-Karkhi, yang termasuk angkatan pertama para sufi dan diduga merupakan orang pertama yang mendefinisikan tasawuf. Katanya : ”Tasawuf ialah mengambil hakikat dan berlepas diri dari apa saja yang ada di tangan makhluk”. Ini berarti bahwa tasawuf ialah ilmu tentang hakikat realitas-realitas intuitif yang tersingkap pada seorang sufi, dan tasawuf merupakan sikap zuhd terhadap apapun yang di tangan orang lain. Jadi menurutnya, tasawuf itu ialah sikap zuhd dan ma’rifah. Selanjutnya, menurutnya tasawuf harus didasarkan pada syariah yang menuntut berbagai amal ibadah dan ketaatan.
Di antara ajaran tasawufnya, al-Karkhi pernah berkata : “Seorang sufi adalah tamu Tuhan di dunia ini, dan oleh karena itu ia berhak mendapat sesuatu yang diberikan kepada tamu, ia berhak dilayani sebagai tamu, tetapi tidak sekali-kali berhak mengemukakan kehendak dan keinginannya. Cinta itu adalah suatu pemberian Tuhan. Ajaran sufi itu menyuruh berusaha mengetahui yang benar dan menampik yang salah. Ungkapan itu berarti bahwa seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan seperti karamah, namun ia tidak meminta, tapi datang sendiri yang biasanya sesuai dengan tingkat ketakwaan seseorang.
    1. Abu al-Hasan Surri al-Saqti
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Surri al-Muglisi al-Saqti. Dia adalah murid Ma’ruf al-Karkhi dan paman al-Junaidi dan merupakan tokoh sufi terkemuka di Bagdad. Ia meninggal pada tahun 253 H / 867 M dalam usia 98 tahun.
Dalam sejarah sufi ia terkenal sebagai pelopor dalam membahas soal “tauhid” dan merupakan orang yang paling wara’ pada masanya. Di antara kata-katanya yang menggambarkan tentang akhlak dan pendidikan moral ialah : “Kekuatan paling dahsyat ialah nafsu, karena itu hendaknya kau mampu mengendalikannya. Dan barang siapa tidak mampu mengendalikan dirinya, niscaya dia lebih tidak mampu lagi mengendalikan orang lain.”
Selanjutnya, dia juga pernah berkata : “Empat moral utama seorang hamba : meningkatkan sifat wara’nya, meluruskan kehendaknya, melapangkan dadanya bagi makhluk lain dan memberikan nasihat kepada siapa pun”. Dan katanya lagi : “Ada empat hal yang harus tetap lestari dalam kalbu seseorang : rasa takut hanya kepada Allah, rasa harap kepada Allah, rasa cinta hanya kepada Allah dan rasa akrab hanya kepada Allah.”
Tampaknya, al-Saqti berpendapat bahwa untuk pendidikan moral hingga tercapai keselamatan lahir dan batin. Orang harus menyendiri dari orang banyak untuk mengkonsentrasikan perhatian dan memusatkan tujuan. Dalam hal ini, dia pernah berkata : “Barang siapa, yang ingin keselamatan agamanya, kesejahteraan badannya dan sedikit duka citanya, maka hendaklah ia menyendiri (‘uzlah) dari orang banyak”.
Dalam menjalankan ajaran tasawuf, dia beramal siang - malam untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan penuh khusu’ dan tawadu’. Siang dan malam yang dia lalui tidaklah berarti tanpa diisi dengan ibadah dan pengabdian. Karena hanya dengan memperbanyak ibadah dan pengabdian itulah, menurutnya dia dapat bertemu dengan Tuhan, dan pertemuan dengan Tuhan itu meruakan puncak keabadian yang sejati.
Dengan terkonsentrasinya pikiran dan perasaan, hilangnya tabir antara seorang sufi dengan Tuhan maka tidak ada lagi yang dirasa dan dipikirkannya kecuali wujud Tuhan. Keadaan seperti ini disebut fana’ yang dipahami sebagai hilangnya sensasi, sehingga ia tidak merasa lagi adanya wujud yang lainnya.
    1. Abu Sulaiman al-Darani
Nama lengkapnya ialah Abu Sulaiman Abdurrahman bin Utbah al-Darani. Dia dilahirkan di Daran, sebuah kampung di kawasan Damakus, dan meninggal pada tahun 215 H / 830 M. Dia adalah murid Ma’ruf dan merupakan tokoh sufi terkemuka, seorang ‘arif dan hidupnya sangat wara’. Hidup kerohaniannya penuh diliputi dengan kebersihan jiwa dan kesucian pribadi.
Diantara ucapan-ucapannya yang mengandung ajaran kerohanian adalah : “Orang tidak dapat bersikap zuhd terhadap pesona dunia, kecuali orang yang kalbunya diisi Allah dengan nur-Nya sehingga segenap rasa dan pikirannya tertuju kepada masalah-masalah akhirat saja”. Kemudian, dia juga pernah berkata : “Orang yang ‘arif, kalau telah terbuka penglihatan mata kakinya, kaburlah penglihatan mata lahirnya, sehingga tidak satupun yang dilihatnya, kecuali yang satu, Tuhan”.
Dalam sejarahnya al-Darani dikenal sebagai salah seorang sufi yang banyak membahas tentang ma’rifah dan hakikat.
    1. Haris al-Muhasibi
Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Dia lahir di Basrah pada tahun 165 H / 781 M. Selagi masih kecil dia pindah ke Bagdad. Ia meninggal disana pada 243 H / 857 M. Ajaran-ajaran dan tulisan-tulisan memberikan pengaruh yang kuat dan luas kepada ahli-ahli sufi sesudahnya, khususnya Abu Hamid al Gazali.
Dia adalah seorang ulama termasyur dalam ilmu usul dan ilmu akhlak, disamping dia juga sorang guru yang kenamaan di kota Bagdad. Dan dia adalah salah seorang sufi yang mengkompromikan ilmu syariat dengan ilmu hakikat.
Al-Muhasibi di dalam tasawufnya cenderung melakukan analisis dengan perangkat logika. Sebagai contoh dalam analisisnya tentang pengertian rasa sedih, dia berkata : “Rasa sedih itu berbagai macam : rasa sedih lain hilangnya sesuatu yang adanya sangat disenangi, rasa sedih karena khawatir tentang yang akan terjadi esok lusa, rasa sedih karena merindukan yang diharap bisa tercapai ternyata tidak tercapai, dan rasa sedih karena ingat betapa diri menyimpang dari ajaran-ajaran Allah”.
Menyinggung tingkatan-tingkatan (maqamat) jalan menuju Allah dan keadaan-keadaan (ahwal) yang berkaitan dengannya, secara analisis al-Muhasibi mengemukakan di dalam salah satu uraiannya : “Landasan ibadah itu kerendahan hati, sementara kerendahan hati itu takwa. Landasan takwa itu introspeksi, sementara landasan introspeksi itu rasa takut maupun rasa harap. Rasa takut maupun rasa harap muncul dari pemahaman terhadap janji dan ancaman Allah. Pemahaman terhadap janji dan ancaman Allah itu muncul karena ingat balasan Allah, dan ingat balasan Allah itu sendiri muncul dari penalaran serta perenungan”.
Dengan begitu, jelas, kata al-Taftazani, al-Muhasibi menerangkan fungsi kemampuan akal budi dalam memahami hikmah-hikmah perintah dan larangan Allah. Namun hendaklah akal budi tersebut dibarengi moralitas, sebagaimana ditegaskannya : “Segala sesuatu mempunyai substansi. Adapun substansi manusia adalah akal budi, dan substansi akal budi adalah kesabaran”.
Kemudian, ucapan-ucapan al-Muhasibi yang lain, yang menerangkan ajaran tasawufnya, antara lain adalah : “Umat manusia yang baik ialah mereka yang tidak terpengaruh akhiratnya oleh dunianya, dan tidak pula meninggalkan dunianya sama sekali karena akhiratnya. Sebaik-baik kelakukan ialah tahan menderita kesukaran dan kesakitan, sedikit marah, luas belas kasihan dan indah tutur kata serta lemah lembut. Orang yang zalim itu akan kiamat meskipun dipuji orang-orang yang dizalimi itu selamat meskipun dicela orang. Orang yang selalu merasa puas termasuk orang kaya, meskipun ia lapar; sedangkan orang yang selalu merasa kecewa itu termasuk orang fakir, meskipun ia mempunyai harta yang berlimpah-limpah”. Dan dia juga berkata : “Barangsiapa yang telah bersih hatinya karena senantiasa muraqabah dan ikhlas, maka akan berhiaslah lahirnya dengan mujahadah dan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasululloh”.
    1. Zu al-Nun al-Misri
Nama lengkapnya adalah Abu al-Faid Suban bin Ibrahim Zu al-Nun al-Misri. Dia lahir di Ekhmim yang terletak di kawasan Mesir Hulu pada tahun 155 H / 770 M. Pada tahun 214 H / 829 M dia ditangkap dengan tuduhan membuat bid’ah dan dikirim ke kota Bagdad untuk dipenjarakan disana. Setelah diadili, khalifah memerintahkan agar ia dibebaskan dan dikembalikan ke Cairo. Di kota ini ia meninggal tahun 245 H / 860 M. Secara legendaris ia dianggap sebagai seorang ahli kimia yang memiliki kekuatan-kekuatan gaib dan telah mengetahui rahasia tulisan Hiroglif Mesir.
Dalam tasawauf, Zu al-Nun al-Misri dipandang sebagai bapak paham ma’rifah. Walaupun istilah ma’rifah sudah dikenal sebelumnya, namun pengertian ma’rifah versi khas tasawuf barulah dikenal dengan munculnya Zu al-Nun. Sejak munculnya Zu al-Nun al-Misri berkembanglah pengertian ma’rifah yang khas dalam dunia sufi; dan mulailah tersusun amalan-amalan tertentu dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah, yang dikenal dengan istilah maqamat dan ahwal.
Zu al-Nun al-Misri mengklasifikasikan ma’rifah kedalam tiga macam, yaitu : (1) ma’rifah oarang awam, (2) ma’rifah para teolog dan filosif, dan (3) ma’rifah para auliya’ dan muqarrabin serta mereka yang mengetahui Allah melalui hati nuraninya. Menurut Zu al-Nun, ma’rifah macam ketiga inilah yang tertinggi dan meyakinkan, karena ia diperoleh bukan melalui belajar, usaha dan pembuktian, tetapi ia adalah ilham yang dilimpahkan Allah ke dalam hati yang paling rahasia pada hambanya. Sehingga ia mengenal Tuhannya melalui Tuhannya. Ini berarti, bahwa menurutnya, ma’rifah bukan maqam tetapi hal, yaitu suatu sikap mental yang diperoleh semata-mata karena karunia Ilahi.
Selanjutnya, Zu al-Nun al-Misri cenderung mengaitkan ma’rifah dengan syariah, sebagaimana katanya : “Tanda seorang arif itu ada tiga : cahaya ma’rifahnya tidak memudarkan cahaya sifat wara’nya, secara batiniah tidka memegangi ilmu yang menyangkal hukum lahiriah, dan banyaknya karunia Allah tidak menjadikannya melanggar tirai-tirai laranganNya”. Bahkan lebih jauh lagi, menurutnya seorang ‘arif akan semakin khusyu’ setiap kali pengenalannya terhadap Allah semakin meningkat, sebagaimana katanya : “Seorang ‘arif setiap harinya tentu semakin khusyu’, sebab setiap saat dia semakin dekat denganNya”. Dan Zu al-Nun al-Misri juga berkata : “Ma’rifah yang sebenarnya ialah, bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifah yang murni, seperti matahari yang tak dapat dilihat kecuali dengan cahaya. senantiasalah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur di dalam kekuasaanNya, mereka merasa bahwa mereka berbicara dengan ilmu yang diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah”.
Kutipan diatas menggambarkan adanya tendensi kearah timbulnya paham panteistik. Oleh karena itu, beberapa peneliti dari Barat (orientalis) berpendapat bahwa Zu al-Nun al-Misri adalah “orang pertama” yang membawa pemikiran filsafat ke dalam tasawuf.
Disamping membahas paham ma’rifah, Zu al-Nun juga berbicara tentang paham cinta. kalau cinta Rabi’ah kepada Allah menyebabkan ia seakan-akan lupa kepada Nabi SAW, maka Zu al-Nun justru menempatkan cinta kepada Rasulullah SAW sejajar dengan cintanya kepada Allah SWT. Di antara ucapan-ucapannya adalah : “Sebagian dari tanda-tanda cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah (Nabi Muhammad SAW) di dalam akhlaknya, perbuatannya dan sunnahnya”. Di lain kesempatan, dia berkata : “Prinsip dasar tasawauf ada empat perkara : (1) mencintai Allah yang Maha Agung, (2) menjauhi yang sedikit dunia, (3) mengikuti Al Quran, dan (4) takut akan terjadinya perebutan (dari taat kepada maksiat)”.
Paham Zu al-Nun tentang cinta, yaitu cinta kepada Allah dalam arti menjalankan perintahNya, menyerahkan diri sepenuhnya kepadaNya, mengosongkan jiwa dari yang selain daripadaNya. Perasaan cinta tidak akan terjadi begitu saja, tetapi harus dicapai dengan melalui maqamat dan ahwal yang cukup banyak dan berat, jarang orang bisa mencapainya; itupun karena rahmat dan karunia Allah yang diberikanNya kepada orang yang dikehendakiNya.
Jelas bagaimana datangnya cinta itu pada diri seorang sufi. Kemudian yang penting diingat bahwa dia harus melalui maqamat yang cukup berat dan panjang. Disamping itu memang yang utama harus mengutamakan Allah diatas dari segala kepentingan lainnya, termasuk dirinya sendiri.
Orang-orang sufi memang memiliki ciri-ciri tertentu. Mereka ingin mencapai beberapa derajat lebih tinggi dari orang-orang yang dianggap mereka orang biasa. Untuk itu mereka pergunakan segala cara untuk mencapai tujuan (gayah).
    1. Abu Yazid al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, bagian timur laut Persia. Dan di Bustam ini pula ia meninggal pada tahun 261 H / 875 M.
Abu Yazid adalah seorang zahid yang terkenal. Baginya zahid adalah seorang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase, yaitu zuhud terhadap tunid, zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fase terakhir ini ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa bagi selain Allah.
Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaaran yang dibawanya banyak ditentang oleh ulama fiqh dan kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Kata-kata yang diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam sehingga jika ditangkap secara lahir akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan Tuhan dengan manusia.
Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa paham al-fana’ dan al-baqa’ serta sekaligus pencetus paham al-ittihad. Abu Yazid lah yang pertama kali menimbulkan paham fana’ dan baqa’ dalam tasawuf. Ia senantiasa ingin dekat dengan Tuhan. Seperti dapat dilihat dari ucapan berikut ini, ia mencari-cari jalan untuk berada di hadirat Tuhan : “Aku bermimpi melihat Tuhan. Aku pun bertanya : “Tuhanku, apa jalannya untuksampai kepadaMu?” Ia menjawab : “Tinggalkan dirimu dan datanglah”.
Dengan fana’, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan -- menurut al-Taftazani -- memang terlalu berlebihan, antara lain : “Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku”. Katanya pula : “Betapa sucinya Aku, betapa besarnya Aku”. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari dirinya sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena dia telah bersatu dengan Tuhan. Dengan kata lain, Abu Yazid dalam ittihad berbicara dengan nama Tuhan; atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Lebih nyata dapat dilihat dalam perkataan Abu Yazid : “Sesungguhnya Dialah yang berbicara melalui lidahku, sedang aku pada saat itu dalam keadaan fana’ ”. Kata-kata Abu Yazid seperti itu telah mendapatkan kecaman dari para ulama. bagi mereka yang bersikap toleran, ia dipandang sebagai “penyelewengan”, dan bagi orang yang ekstrim, ia dipandang sebagai kekufuran.
Ajaran yang dikemukakan Abu Yazid, semua mengacu kepada tema pahamnya, yaitu ittihad yang berawal, atau sebagai akibat dari paham fana’. Ciri yang mendominasi paham fana’ Abu Yazid adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangannya, dimana seorang sufi, tidak lagi menyaksikan kecuali hakikat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang disaksikannya.
    1. Junaid al-Bagdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Nihawandi. Dia meninggal di Bagdad pada tahun 297 H / 910 M. Al Junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, dan mampu membahas secara mendalam, khususnya tentang paham tauhid dan fana’. Karena itulah dia digelari Imam Kaum Sufi (Syaikh al-Ta’ifah).
Kemampuan al-Junaid untuk menyampaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti dari kepercayaan gurunya dalam menyuruhnya untuk tampil dimuka umum.
Al-Junaid dipandang sebagai sufi yang moderat. Atau dengan kata lain, dia mewakili tasawuf para fuqaha yang mendasarkan diri pada al-Qur’an dan al-Sunnah secara riil. Dalam ungkapan al-Junaid berikut, barangkali tergambar metodenya dalam tasawuf. “Barang siapa tidak menghafal al-Qur’an dan tidak menulis hadis, dia tidak boleh dijadikan panutan dalam masalah itu (maksudnya : tasawuf) sebab ilmu kita terikat pada al-Qur’an dan al-Sunnah”.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah tasawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Suatu ketika al-Junaid ditanya tentang pengertian tauhid. Dia menjawab : “Orang-orang yang mengesakan Allah ialah mereka yang merealisasikan keesaanNya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, menafikkan segala bentuk politestik. Dia tidak bisa diserupakan, diuraikan, digambarkan dan dibuat contohNya. Dia tanpa padanan dan Dia adalah zat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat”.
Tauhid yang hakiki menurut al-Junaid adalah buah dari fana’ terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia mengatakan : “Tauhid yang secara khusus dianut pada sufi adalah pemisahan yang qidam dari yang kudus”. Dari pendapatnya diatas tampak jelas syarat-syarat pada tauhid bentuk khusus yang berdasarkan kefanaan. Dan kefanaan dalam tauhid adalah pengetahuan yang dapat dicapai jiwa manusia dalam alam lain. Pemikiran ini tampak paralel dengan paham Plato tentang telah adanya jiwa manusia dalam alam ide, sebelum turun kedalam tubuh.
Al-Junaid menandaskan bahwa tasawuf berarti bahwa “Allah akan menyebabkan kau mati dari dirimu sendiri dan hidup didalamNya”. Peniadaan diri ini oleh al-Junaid disebut fana’, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur’ani “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”; dan hidup dalam Dia disebut baqa’. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tak habis-habisnya : “Kita tidak melaksanakan tasawuf dengan obrolan dan kata-kata, tetapi dari kelaparan dan penolakan terhadap dunia dan pemutusan hubungan dengan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan kita dan segala yang sudah kita anggap sesuai dengan diri kita”. Baginya, kehidupan tasawuf berarti usaha abadi manusia untuk kembali ke asal-usulnya, yang bersumber pada Allah awal mula segala sesuatu, sehingga akhirnya ia bisa mencapai suatu keadaan “dimana dia berada sebelum berada”. Yakni hanya suatu keadaan perjanjian purba, ketika Tuhan sendirian dan yang diciptakanNya dalam waktu belum lagi ada. Hanya pada saat semacam itulah orang bisa menyadari tauhid sempurna; hanya pada sat itulah ia bersaksi bahwa Tuhan adalah esa dari keabadian-keabadian”.
    1. Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu al-Muqis al-Husain bin Mansur al-Hallaj (244 - 309 H). Ia merupakan tokoh yang paling kontroversial didalam sejarah tasawuf dan akhirnya menemui ajalnya di tiang gantungan.
Teori tasawuf yang dikembangkan oleh al-Hallaj meliputi tiga persoalan pokok, yaitu : (a) Hulul, (b) Haqiqah Muhammadiyah, dan (c) Wahdah al Adyan.
      1. Hulul
Yakni paham yang menyebutkan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh dilenyapkan.
Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (masut). Demikian pula manusia, disamping mempunyai sifat kemanusiaan (masut), juga memiliki sifat ketuhanan (lahut) dalam dirinya. Dengan demikian dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Karena itu persatuan antara Tuhan dengan manusia dapat terjadi; dan persatuan itu mengambil bentuk hulul.
Agar manusia dapat bersatu, ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan melalui fana’. Kalau sifat-sifat kemanusiaan telah hilang dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan dalam dirinya, dari situlah baru Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya dan ketika itulah roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.
Dengan cara inilah, menurut al-Hallaj, seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika al-Hallaj berkata : Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan) bukanlah roh al-Hallaj yang mengatakan itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya.

      1. Haqiqah Muhammadiyah atau Nur Muhammad
Pandangan bahwa Muhammad mempunyai dua rupa. Pertama, rupanya yang qadim dan azali, yaitu dia telah terjadi sebelum terjadinya segala yang ada ini. Kedua, ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seorang Rasul dan Nabi yang diutus Tuhan. Rupanya sebagai manusia akan mengalami maut, tetapi rupanya yang qadim akan tetap ada meliputi alam.
Paham ini berpangkal dari hadis yang sangat populer di kalangan ahli sufi : “Aku berasal dari cahaya Tuhan dan seluruh dunia berasal dari cahayaku”. Dalam teori ini nampak adanya pengaruh ajaran filsafat, yaitu teori terjadinya alam semesta yang diperkenalkan oleh al-farabi dengan mentransfer teori emanasi Neo Platonisme Plotinus.
      1. Wahdah al-adyan
Semua agama yang ada pada hakikatnya adalah satu, karena semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengakui dan menyembah Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan semua agama. Nama agama itu berbagai macam, namun hakikatnya sama saja.
Paham Wahdah al-adyan (kesatuan semua agama) ini muncul sebagai konsekuensi logis dari pahamnya Nur Muhammad. Yakni, pendapat al-Halla tentang qadimnya Nur Muahmmad telah mendorongnya berkesimpulan tentang kesatuan semua agama, karena dalam kasus tersebut bersumber semua agama adalah satu. Menurutnya, agama-agama itu diberikan kepada manusia bukan atas pilihannya sendiri, tetapi dipilihkan untuknya.
    1. Abu Bakar al-Syibli
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Dulaf bin Jahdar al Syibli. Al-Syibli meninggal pada tahun 334 H / 946 M, dalam usia 87 tahun. Al-Syibli adalah seorang yang tidak pernah mengeluh menghadapi kehidupan; dia hidup penuh kegembiraan. Dia berujar : “Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya, tumbuh di tepi jalan. Dilempar orang dengan batu, lalu dibalasnya dengan buah”.
Kemudian, tentang arti dan hakikat tasawuf dan sufi, al-Syibli mengatakan : “Tasawuf ialah duduk bersama Allah tanpa ada rasa duka”. Dan katanya pula : “Tasawuf adalah kehalusan yang membakar”. Selanjutnya katanya : “Sufi ialah orang yang terputus hubungannya dengan makhluk dan senantiasa berhubungan dengan khalik”.

1 Ensiklopedi Islam 5, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hove, 1994. hal 83
2  Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta : Rajawali Pers. Hal 251

Tidak ada komentar:

Posting Komentar